Wednesday, April 13, 2016

I Love You, Ayah

Luka itu tak kunjung sembuh bahkan membekas hingga kini. I Love You, Ayah Ilustrasi (U-Report)

VIVA.co.id – Pagi ini kota rantau tak terlalu bersahabat. Sepertinya akan hujan. Rasa panas membuatku basah karena keringat. Tak ada kegiatan khusus hari ini. Hanya mendengar ibuku bercerita panjang lebar melalui telepon genggam yang sudah dari 45 menit yang lalu menempel di telinga.

Panas. Mencurahkan beberapa keluhan hati yang seharusnya tak kudengar. Tapi sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, saat usiaku menginjak 12 tahun, ibu sudah sering menangis di depanku. Kalaupun menangis di belakangku, aku tetap menyadarinya. Ibu menceritakan banyak kesedihannya. Ingin rasanya aku menolak menjadi pendengarnya. Tapi aku memilih diam sebagai baktiku menjadi putri yang tak mampu menjadi apa yang benar-benar dia inginkan.

Ayah, menjadi cerita ibu setiap kali dia bersedih. Semua luka yang ayahku buat untuknya menjadi kisah yang tak pernah berakhir untukku. Banyak kekecewaan yang ibu ceritakan. Luka yang tergores sejak lama dan selalu menjadi kesalahan yang sama dari ayah. Entah sadar atau tidak, kisah ibu tentang kekecewaannya kepada ayah justru menumbuhkan kebencianku pada ayah juga secara perlahan, tapi pasti. Hingga aku sampai pada satu titik di mana aku sendiri tak tahu harus bersikap apa, dan harus menceritakan kebingungan ini pada siapa.

Satu siang di saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, di mana pertengkaran malam yang ayah dan ibu lakukan sudah menjadi hal biasa yang aku dengar di sela tidur malamku. Ayah memanggilku masuk ke dalam kamar kecil kami. Kamar yang selalu menjadi tempat paling hangat bagiku berubah menjadi tempat paling sesak yang pernah aku masuki.

Ibu duduk di sudut kasur lusuh tempat kami bercanda dengan ayah untuk menikmati waktu. Tapi kini kasur itu menjadi dingin seperti es. Aku benci mengingat susasana itu. Ibu dengan wajah yang menggambarkan banyak luka di hatinya duduk dengan tatapan kosong. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya. Ayah dengan wajah sedih (mungkin wajah sedih pertama ayah yang aku lihat sepanjang hidupku) dan suara parau mulai berkata-kata.

Aku tak mengerti semua kata yang ayahku ucapkan kala itu. Aku hanya mampu menarik kesimpulan sedikit dari semua kata sampah yang keluar dari mulutnya. "Ayah juga menderita di rantau, ayah juga kelaparan di sana, ayah tak mampu menyenangkanku seperti anak seusiaku pada umumnya, ayah mohon pengertianku, dan bla...bla...bla...." Air mata turun begitu saja. Aku hanya tahu ayah pun terluka. Tapi entah apakah ini rasa sedih karena ayahku mengalami banyak kesulitan atau ini rasa benci karena ayahku tak mampu menjadi ayah yang sebagaimana mestinya.

Related Posts:

0 comments: